Minggu, 29 Desember 2013

CONTOH KASUS III BISNIS YANG TIDAK BERETIKA

PELANGGARAN KODE ETIK BISNIS


Nama Todung Mulya Lubis tentu tidak asing lagi bagi banyak masyarakat. Apalagi untuk dunia hukum di Indonesia, Todung Mulya Lubis memiliki trademark tersendiri. Analisis hukum yang sering dilontarkannya seringkali tajam dan kritis. Begitu pula ketika berbicara soal korupsi, Todung sering berbicara blak-blakan. Sebagai ketua Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), Todung termasuk tokoh yang mengkritik keras adanya monopoli dan oligopoli yang dilakukan oleh para konglomerat di Indonesia. Pun, Todung menjadi bagian penting dalam kampanye penegakkan Hak Asasi Manusia di Indonesia.
Yang tidak kalah penting, sebagai pengacara Todung mendapat banyak kepercayaan dari sejumlah korporasi ternama. Pada saat Majalah Time menghadapi gugatan dari mantan Presiden Soeharto, Todung menjadi pengacara yang dipercaya untuk menghadapi gugatan tersebut. Bahkan, perusahaan telekomunikasi ternama Temasek dari Singapura mempercayakan Todung sebagai kuasa hukumnya di Indonesia. Untuk kasus pertama, Mahkamah Agung akhirnya memutuskan tulisan Time tentang kekayaan keluarga Pak Harto tidak benar, sehingga Time harus membayar ganti rugi moril sebesar Rp 3 triliun kepada Pak Harto. Sementara Temasek dinilai telah melakukan monopoli bisnis telekomunikasi di Indonesia oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).


Kabar terakhir, Majelis Kehormatan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) DKI Jakarta menjatuhkan hukuman dengan mencabut ijin kepengacaraan Todung seumur hidup. Todung dinilai telah melanggar etika sebagai pengacara dalam perseteruan Sugar Group melawan Salim Group. Pada tahun 2002, Todung menjadi pengacara untuk Sugar Group, namun tahun 2006 Todung menjadi pengacara Salim Group. Selain itu, Todung juga pernah menjadi auditor BPPN untuk menangani Salim Group. Sehingga, sebagai pengacara Todung disebut “plin-plan” dan “hanya mengejar uang.”
Benarkah? Keputusan Peradi DKI Jakarta memang belum final. Todung tentu saja tengah bersiap-siap melakuikan perlawanan. Beberapa pengacara senior pun ada yang membela Todung—dengan mengatakan agar keputusan Peradi DKI Jakarta mencabut ijin kepengacaraan Todung Mulya Lubis seumur hidup, diabaikan. Pastilah masing-masing pihak, yang setuju dan tidak setuju, senang dan tidak senang, memiliki argumentasi berdasarkan kaidah-kaidah perundangan dan kode etik yang berlaku. Kita masih menunggu bagaimana akhir kisah Todung Mulya Lubis ini.
Menarik lebih luas mengenai pelanggaran kode etik di Indonesia, barangkali kasus Todung hanyalah satu dari sekian banyak kasus serupa. Kode etik untuk sebuah profesi adalah sumpah jabatan yang juga diucapkan oleh para pejabat Negara. Kode etik dan sumpah adalah janji yang harus dipegang teguh. Artinya, tidak ada toleransi terhadap siapa pun yang melanggarnya. Benar adanya, dibutuhkan sanksi keras terhadap pelanggar sumpah dan kode etik profesi. Bahkan, apabila memenuhi unsur adanya tindakan pidana atau perdata, selayaknya para pelanggar sumpah dan kode etik itu harus diseret ke pengadilan.Kita memang harus memiliki keberanian untuk lebih bersikap tegas terhadap penyalahgunaan profesi di bidang apa pun. Kita pun tidak boleh bersikap diskrimatif dan tebang pilih dalam menegakkan hukum di Indonesia. Kode etik dan sumpah jabatan harus ditegakkan dengan sungguh-sungguh. Profesi apa pun sesungguhnya tidak memiliki kekebalan di bidang hukum. Penyalahgunaan profesi dengan berlindung di balik kode etik profesi harus diberantas. Kita harus mengakhiri praktik-praktik curang dan penuh manipulatif dari sebagian elite masyarakat. Ini penting dilakukan, kalau Indonesia ingin menjadi sebuah Negara dan Bangsa yang bermartabat.

Referensi:

pelangianggita.blogspot.com
Detik.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar