Jumat, 22 November 2013

CONTOH KASUS II BISNIS YANG TIDAK BERETIKA

PELANGGARAN HAK PEKERJA


Ketua Yayasan LBH Cianjur, O Suhendra mengatakan, upaya pendampingan dan advokasi dilakukan lantaran selama ini para buruh buta masalah hukum. Jumlah buruh asal Kabupaten Cianjur yang sempat diperiksa tim penyidik Polresta Tangerang untuk dimintai keterangan sebagai saksi korban, Sabtu (11/5/2013), lebih kurang berjumlah 30 orang.

"Mereka (buruh) hanya dimintai keterangan sebagai saksi korban. Dari 30 orang buruh, empat orang di antaranya masih anak-anak di bawah umur dengan rata-rata usia 18 tahun," kata Aap, sapaan akrab O Suhendra saat dihubungi INILAH, Minggu (12/5/2013).

Aap berharap agar pengusaha yang saat ini sudah ditetapkan sebagai tersangka bisa dijerat pasal berlapis. Dalihnya, pengusaha sudah melakukan pelanggaran pasal 378 KUHP tentang penipuan, pasal 351 tentang penganiayaan, dan pasal 333 tentang penyekapan.

"Termasuk juga pelanggaran Undang Undang Perlindungan Anak dan Undang Undang Perdagangan Manusia (Trafficking). Kami juga mengharapkan agar hak-hak buruh (korban) maupun perdatanya bisa dipenuhi. Jika tidak dipenuhi, kami pun akan melakukan gugatan hukum," tegasnya.

Sebelumnya, Sabtu (11/5/2013), tim penyidik Mapolresta Tangerang, memintai keterangan puluhan korban perbudakan disertai penyekapan dan penyiksaan buruh pabrik panci di Tangerang asal Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Bandung. Pemeriksaan dilakukan di kantor Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Cianjur di Jalan Kompleks SMPN1.

Pemeriksaan didampingi tim dari Kontras sebanyak 3 orang, P2TP2A Kabupaten Cianjur sebanyak 3 orang, Persatuan Mahasiswa Hukum Indonesia (Permahi) sebanyak 15 orang, dan LBH Cianjur sebanyak 2 orang. Satu per satu, buruh yang menjadi korban perbudakan dimintai keterangannya oleh tim penyidik Polresta Tangerang.

Ketua Bidang Pelayanan Umum P2TP2A Kabupaten Cianjur, Lidya Umar Indayani mengatakan, jumlah keseluruhan buruh korban perbudakan sebanyak 33 orang, termasuk 3 korban dari Kabupaten Bandung. Sebanyak 8 orang di antara buruh itu di bawah umur.

"Korban yang di-BAP itu termasuk juga yang dulu sempat kabur dari 3 kecamatan sebanyak 9 orang," kata Lidya di kantor P2TP2A Kabupaten Cianjur, Sabtu (11/5/2013)

Komentar:

Hal ini diakibatkan oleh lemahnya sistem pengawasan ketenagakerjaan di Kabupaten Tangerang. Ini terjadi karena tidak seimbangnya jumlah pengawas Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Tangerang yang saat ini berjumlah 17 orang, tapi harus mengawasi 5.883 perusahaan yang tercatat resmi di seluruh Kabupaten Tangerang. Dinas Tenaga Kerja hanya melakukan pengawasan terhadap industri atau perusahaan yang resmi dan memiliki izin. Sedangkan CV Cahaya Logam, produsen panci di Kampung Bayur Opak, Desa Lebak Wangi, dipastikan tidak berizin alias ilegal. Selain Dinas Tenaga Kerja, fungsi pengawasan juga seharusnya dilakukan oleh instansi terkait lain, seperti Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Satuan Polisi Pamong Praja, dan Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Tangerang.

Referensi:
http://www.inilahkoran.com/read/detail/1988235/lbh-cianjur-siap-gugat-bos-pabrik-panci-tangerang

Sabtu, 16 November 2013

KASUS I BISNIS YANG TIDAK BERETIKA

Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) dan tim pengaduan masyarakat Satgas REDD+ sedang melakukan pengumpulan bahan dan keterangan serta analisis atas dugaan pelanggaran ijin pada kawasan konsesi PT X, sebuah perusahaan kelapa sawit, di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah.
Penyelidikan ini dianggap sebagai penguji atas janji pemerintah Indonesia untuk memerangi pembabatan hutan dan memaksa perusahaan-perusahaan tambang dan perkebunan untuk kembali ke jalur perijinan yang benar. Demikian tulis Reuters pada edisi Kamis 12 Juli 2012. Penyelidikan ini merupakan tindak lanjut atas temuan sebuah kelompok konservasi lingkungan, Environmental Investigation Agency (EIA), setelah melakukan penyelidikan mendalam atas kasus PT X.
Menanggapi pertanyaan yang diajukan Reuters terkait masalah tersebut, Kuntoro Mangkusubroto, Kepala Satgas REDD+ dan UKP4, mengatakan, “PT X diduga telah melakukan pelanggaran atas kawasan konsesi sejak minimal tiga tahun yang lalu”
Menurut Kuntoro, dugaan indikasi yang paling kuat sementara ini adalah  bidang lingkungan hidup dan perkebunan. “Pelanggaran PT X ini terjadi karena perusahaan itu tidak memiliki Amdal dan lalai melakukan audit lingkungan sesuai dengan kewajiban pada pasal 121 ayat (1) UU Lingkungan Hidup No. 32/2009,” katanya sambil menambahkan bahwa perkebunan perusahaan tersebut berada di luar konsesi sesuai ijin yang diberikan.
Melihat beberapa pelanggaran yang terjadi di Kabupaten Pulang Pisau, termasuk PT X, ada beberapa akar permasalahan yang berhasil diidentifikasi oleh Satgas REDD+.
Pertama, masalah pengelolaan dan pemetaan tata ruang yang baik terkait dengan fungsi perlindungan dituding menjadi salah satu akar masalah. Berdasarkan laporan Amdal PT X No. 660/151/II/BPPLHD/2008, diketahui hampir 20.000 hektar areal lahan konsesi milik PT X memiliki ketebalan gambut sedalam 4-8 meter. Hal ini sesuai dengan peta RTRWP Kalimantan Tengah yang menyebutkan bahwa konsesi PT X terletak di kawasan gambut dengan ketebalan yang termasuk dalam kawasan pengembangan produksi. Padahal menurut Kepres No. 32/1990 tentang pengelolaan kawasan lindung menyebutkan bahwa wilayah dengan gambut tebal dikualifikasikan sebagai kawasan lindung dalam peta RTRWP.
Yang kedua, UKP4 juga meminta agar Permentan No. 14/2009 dikaji kembali. Kajian ini dianggap perlu karena peraturan mengenai perijinan kelapa sawit di kawasan hutan tersebut dianggap tidak sejalan dengan upaya penegakan hukum.
Akar permasalahan berikutnya adalah tidak adanya koordinasi dan sinergi antar instansi pemberi ijin, terutama menyangkut Kementerian Kehutanan sebagai perwakilan pemerintah yang mengatur penggunaan hutan dan Bupati sebagai pemberi ijin operasional  di daerah. Kondisi tanpa koordinasi dan sinergi inilah yang menyebabkan PT X melakukan pelanggaran.
Prosedur perijinan yang tidak dijalankan dengan baik oleh para kepala daerah merupakan akar permasalahan yang keempat. Pada kasus PT X, perusahaan menjalankan usaha perkebunannya tanpa dilengkapi analisis dampak lingkungan sehingga mereka tidak dapat mengidentifikasi gambut dalam yang seharusnya dilindungi dari kegiatan usaha.
Kelima, PT X dianggap telah melanggar peraturan wilayah konsesi selama tiga tahun karena lemahnya penegakan hukum. Parahnya, tidak ada sanksi administratif yang diterapkan. Seandainya, peraturan ditegakkan, maka dampak kerusakan dapat dicegah dan perusahaan pun harus tunduk kepada peraturan yang ada.

KOMENTAR:
Pemerintah harus menindak tegas pelanggaran atas tata guna lahan tersebut. Pihak kepolisian, Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, dan Kejaksaan harus berkoordinasi untuk menyelesaikan kasus ini. Disamping itu, pemerintah harus mengeluarkan peta untuk kawasan hutan lindung dan gambut dalam agar pengusaha juga tidak bingung mengenai batasan lahan produksi dan hutan. Selain itu, Satgas REDD+ harus mengkaji perijinan yang melanggar prosedur di beberapa daerah sebagai percontohan. Tujuannya untuk memperbaiki tata kelola dan mencegah kerusakan yang lebih sistematis.

Referensi:
SATGAS REDD+